Ampuhnya Kekuatan Internet
Salah satu kekuatan Barack Obama (47) adalah memanfaatkan internet untuk menjaring pendukung dalam kampanye-kampanyenya dan mengumpulkan dana secara "online". Barack Obama memiliki situs-situs jejaring sosial yang populer tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di banyak negara di dunia, mulai dari Facebook, My Space, Linkedin, You Tube, Friendster, hingga Twitter.
Obama, Senator Illinois ini, mampu mengalahkan Hillary Clinton, Senator New York, saat konvensi Partai Demokrat. Kini dia menang atas John McCain dari Partai Republik dalam pemilihan 4 November. Saat pertarungannya dengan Hillary, Obama mengantongi dana 38 juta dollar AS selama kampanye dan hanya berutang 2 juta dollar AS. Adapun Hillary hanya memperoleh 6 juta dollar AS dan utangnya untuk kampanye membengkak 21 juta dollar AS.
Mengapa? Padahal, Hillary memiliki nama besar dan popularitas. Obama memanfaatkan internet. Obama memperoleh sumbangan dana kampanye lewat online hanya 5 dollar AS per orang, tetapi disumbang oleh jutaan orang.
Hillary masih menggunakan pola lama berkampanye, termasuk mencari dana. Hillary melupakan faktor kunci dalam dunia baru politik di AS, yaitu jejaring sosial. Ibaratnya, Hillary masih menggunakan AOL, Obama sudah memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Hillary masih PC, Obama sudah sebuah Mac.
Jejaring sosial
Menguasai komunikasi publik memang salah satu kunci kemenangan. Franklin Delano Roosevelt menggunakan radio dan John F Kennedy memanfaatkan televisi untuk menggapai kemenangan. Kini Barack Obama menggunakan internet sebagai media sosial, menyapa masyarakat akar rumput melalui teknologi komunikasi yang berkembang amat pesat. Cek di Facebook, banyak ditemukan grup pendukung Obama.
Namun, Obama bukan politisi Amerika pertama yang memanfaatkan jejaring sosial untuk menuju kursi kepresidenan. Howard Dean menggunakan Meetup.com saat nominasi Partai Demokrat dalam pemilihan presiden tahun 2004. Dean saat ini berhasil mengumpulkan 27 juta dollar AS melalui online.
Pakar komunikasi Phil Noble, seperti dilansir BBC, menyebutkan, Obama meraih hampir satu miliar dollar AS selama kampanye tahun 2008. Jumlah ini 12 kali lebih banyak dibandingkan dengan perolehan John Kerry, yang juga memperoleh dana kampanye lewat cara yang sama tahun 2004.
Yang pasti, Obama dan tim suksesnya betul-betul memanfaatkan internet sebagai alat menuju kemenangan. Hal ini tidaklah heran karena di AS sebesar 71,9 persen atau 218,3 juta dari 303,8 juta penduduknya menggunakan internet (catatan InternetWorldStats hingga November 2007). Bahkan, internet telah menjadi bagian utama kehidupan politik Amerika
Sampai akhir Oktober lalu, Obama memiliki lebih dari 1,7 juta sahabat di Facebook, beberapa di antaranya warga negara Indonesia, dan 510.000 teman di MySpace. Sebaliknya, McCain punya 309.000 teman di Facebook dan 88.000 di MySpace. Mengapa jumlah sahabat McCain di jejaring sosial lebih sedikit, ini bisa jadi karena faktor usia. McCain yang berusia 72 tahun kurang diminati penggemar Facebook dan MySpace yang sebagian besar kaum muda.
Di jejaring sosial Twitter, Obama memiliki lebih dari 45.000 pengikut. Semua aktivitasnya diinformasikan melalui jejaring sosial tersebut langsung kepada sahabat-sahabatnya. Jutaan orang di dunia, tidak hanya di Amerika, dapat menyaksikan pidato Obama melalui You Tube. Obama juga memiliki blog pribadi, mengajak pendukungnya berperan serta dalam pengumpulan dana melalui online.
Tidak seperti pesaingnya, McCain, Obama menulis surat elektronik (e-mail) pribadinya dan menciptakan video-video eksklusif untuk pendukung online-nya
Yang juga menarik, video musik Yes We Can yang ditayangkan di You Tube, dengan bintang tamu antara lain Jesse Dylan, Will.i.am, Common, Scarlett Johansson, Tatyana Ali, John Legend, Herbie Hancock, Kate Walsh, Kareem Abdul Jabbar, Adam Rodriguez, Kelly Hu, Amber Valetta, Eric Balfour, Aisha Tyler, Nicole Scherzinger, dan Nick Cannon, dalam dua hari setelah dirilis diklik 698.934 kali.
Phil Noble menyebutkan, dua juta pendukung Obama bertindak sebagai sukarelawan selama masa kampanye, itu kunci penting kemenangan bersejarah ini. Profesor Thomas Patterson dari Universitas Harvard, Inggris, memperkirakan, popularitas Obama dalam jejaring sosial menarik para pemilih muda dan kalangan terdidik Amerika.
Obama dan tim suksesnya telah mengubah cara politisi menarik publik Amerika, termasuk mengumpulkan dana kampanye melalui online. Obama telah memindahkan politik kepresidenan masuk ke abad digital.
Wikileaks
Kesalingterhubungan itu awalnya dimaksudkan Pemerintah Amerika Serikat untuk tujuan keamanan nasional. Pada 1957, AS dipanikkan dengan ”Krisis Sputnik” setelah Uni Soviet meluncurkan satelit pertama yang mengorbit Bumi.
Presiden Dwight Eisenhower, yang menilai AS kalah superior dalam lomba teknologi ruang angkasa, memerintahkan riset kesalingterhubungan sistem komunikasi melalui komputer. Kalangan militer dan universitas, yang terlibat dalam pengembangan ”mahakarya” ini, awalnya tak serius.
”Main-main jadi bukan main”. Itu kiasan tepat untuk melukiskan perkembangan internet yang sempat mandek puluhan tahun sampai akhirnya paripurna ketika ditemukannya world wide web.
Berkat Galaksi Internet kita menikmati sistem komunikasi, bisnis, media dan sumber informasi, ekspresi politik dan kultural, proses belajar dan mengajar, serta komunitas yang serba baru. ”Kita memasuki Galaksi Internet dengan kecepatan penuh di tengah ketakjuban yang amat kita pahami,” kata Castells.
Internet lalu menjadi media komunikasi dan informasi yang esensial dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah inovasi, fenomena internet bisa disamakan dengan penemuan listrik atau media cetak.
Sebuah konsekuensi negatif yang tak terduga, tetapi tak dapat dihindari, Galaksi Internet tak kenal rahasia. Semua aspek rahasia kehidupan individual dan masyarakat—persaingan bisnis, agenda politik, sampai kehidupan pribadi—pada prinsipnya bisa diintersepsi.
Maka, setiap jenis informasi paling sensitif pun yang dicemplungkan ke Galaksi Internet bisa diterobos siapa pun —mungkin kecuali bahasa sandi yang rumit. Oleh sebab itu, tak semua kalangan menyukai Galaksi Internet, misalnya Pemerintah China yang membungkam Google.
Lihat pula fakta sejarah ini. Letusan ”Revolusi Melati” di Tunisia dipicu protes penjaja buah/sayuran gerobak yang membakar diri karena dilarang berjualan di kaki lima.
Masyarakat bersimpati kepada sang pedagang kaki lima, solider, dan menggalang kekuatan melalui jejaring sosial. Setelah itu, lahir people power yang melancarkan aksi massa yang memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali kabur ke luar negeri.
Cerita sukses di Tunisia ditiru Wael Ghonim, eksekutif Google di Mesir, yang menggalang people power untuk mendongkel Presiden Hosni Mubarak. Meski dielu-elukan sebagai tokoh ”Revolusi 25 Januari”, Ghonim menolak dinobatkan sebagai pahlawan.
Ia mengidolakan Julian Assange, sang penggagas WikiLeaks. Ini organisasi nonprofit yang bertujuan menyajikan informasi kepada publik melalui media massa ke seluruh dunia.
”WikiLeaks bisa jadi alat jurnalistik penting sesuai Undang-Undang Kemerdekaan Informasi,” tulis majalah Time. Tujuan WikiLeaks satu: memaksa setiap pemerintah terbuka kepada rakyat masing-masing.
Untuk itulah, WikiLeaks, lewat berbagai cara, mencuri seperempat juta kawat (diplomatic cables) kedutaan-kedutaan AS di seluruh dunia. Tentu AS geram dengan ulah Assange, tetapi tak bisa berbuat apa pun kecuali mempermalukannya dengan tuduhan pelecehan seksual di pengadilan.
Kawat diplomatik ditulis para diplomat berdasarkan konversasi ataupun pengamatan di negara penempatan. Sulit meragukan kredibilitas isi kawat karena —seperti berita yang ditulis wartawan atau hasil riset peneliti— dicek silang, dirapatkan, diperiksa atasan, dan diverifikasi sebagai dokumen negara.
Terlebih lagi AS sudah lebih dari seabad menjalankan sistem diplomasi modern ini. Waktu kawat mereka dibocorkan WikiLeaks, tak ada yang panik karena tak ada rahasia keamanan nasional AS yang terancam.
Beda dengan, misalnya, tatkala Daniel Ellsberg membocorkan pengeboman sadis AS di Indo-China lewat ”Pentagon Papers”. Betapapun, Washington terpukul karena WikiLeaks mengungkapkan bahasa diplomatik yang cenderung kasar menjuluki pemimpin seperti Moammar Khadafy atau Nicolas Sarkozy.
Pada akhirnya, semua kawat toh wajib diungkap kepada publik secara berkala dan bermanfaat untuk riset ilmiah atau jurnalisme investigatif. Tak sedikit ilmuwan kita dan Barat memanfaatkan kawat-kawat untuk riset tentang Indonesia saat pancaroba dari Orde Lama ke Orde Baru.
Tak ada yang bisa disalahkan dalam hiruk-pikuk WikiLeaks karena nasi sudah menjadi bubur. Terlebih lagi baru sekitar 1 persen kawat yang dipajang di etalase. Masih ada lebih dari 200.000 kawat.
Pemerintah AS tak terganggu karena substansi kawat diplomatik mereka justru memperlihatkan kinerja diplomasi yang profesional. Dan, sejauh ini tak satu pun negara sahabat AS yang merasa terusik.
Kini di AS berlaku slogan baru, ”It’s the Internet Galaxy, stupid!”
Wikileaks
SUDAH hampir dua dekade kita memasuki era yang, menurut pakar komunikasi/sosiolog Spanyol, Manuel Castells, disebut ”Galaksi Internet”. Wabah ”www” (world wide web) pada awal 1990-an mendongkrak popularitas dan komersialisasi internet secara luar biasa hingga memengaruhi semua aktivitas manusia
World wide web tiba-tiba menjalin kesalingterhubungan (interconnectedness) dalam waktu kilat, tanpa batas ruang dan waktu, serta melibatkan siapa pun. Dalam istilah mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, inilah periode information superhighway.Kesalingterhubungan itu awalnya dimaksudkan Pemerintah Amerika Serikat untuk tujuan keamanan nasional. Pada 1957, AS dipanikkan dengan ”Krisis Sputnik” setelah Uni Soviet meluncurkan satelit pertama yang mengorbit Bumi.
Presiden Dwight Eisenhower, yang menilai AS kalah superior dalam lomba teknologi ruang angkasa, memerintahkan riset kesalingterhubungan sistem komunikasi melalui komputer. Kalangan militer dan universitas, yang terlibat dalam pengembangan ”mahakarya” ini, awalnya tak serius.
”Main-main jadi bukan main”. Itu kiasan tepat untuk melukiskan perkembangan internet yang sempat mandek puluhan tahun sampai akhirnya paripurna ketika ditemukannya world wide web.
Berkat Galaksi Internet kita menikmati sistem komunikasi, bisnis, media dan sumber informasi, ekspresi politik dan kultural, proses belajar dan mengajar, serta komunitas yang serba baru. ”Kita memasuki Galaksi Internet dengan kecepatan penuh di tengah ketakjuban yang amat kita pahami,” kata Castells.
Internet lalu menjadi media komunikasi dan informasi yang esensial dalam kehidupan bernegara. Sebagai sebuah inovasi, fenomena internet bisa disamakan dengan penemuan listrik atau media cetak.
Sebuah konsekuensi negatif yang tak terduga, tetapi tak dapat dihindari, Galaksi Internet tak kenal rahasia. Semua aspek rahasia kehidupan individual dan masyarakat—persaingan bisnis, agenda politik, sampai kehidupan pribadi—pada prinsipnya bisa diintersepsi.
Maka, setiap jenis informasi paling sensitif pun yang dicemplungkan ke Galaksi Internet bisa diterobos siapa pun —mungkin kecuali bahasa sandi yang rumit. Oleh sebab itu, tak semua kalangan menyukai Galaksi Internet, misalnya Pemerintah China yang membungkam Google.
Lihat pula fakta sejarah ini. Letusan ”Revolusi Melati” di Tunisia dipicu protes penjaja buah/sayuran gerobak yang membakar diri karena dilarang berjualan di kaki lima.
Masyarakat bersimpati kepada sang pedagang kaki lima, solider, dan menggalang kekuatan melalui jejaring sosial. Setelah itu, lahir people power yang melancarkan aksi massa yang memaksa Presiden Zine al-Abidine Ben Ali kabur ke luar negeri.
Cerita sukses di Tunisia ditiru Wael Ghonim, eksekutif Google di Mesir, yang menggalang people power untuk mendongkel Presiden Hosni Mubarak. Meski dielu-elukan sebagai tokoh ”Revolusi 25 Januari”, Ghonim menolak dinobatkan sebagai pahlawan.
Ia mengidolakan Julian Assange, sang penggagas WikiLeaks. Ini organisasi nonprofit yang bertujuan menyajikan informasi kepada publik melalui media massa ke seluruh dunia.
”WikiLeaks bisa jadi alat jurnalistik penting sesuai Undang-Undang Kemerdekaan Informasi,” tulis majalah Time. Tujuan WikiLeaks satu: memaksa setiap pemerintah terbuka kepada rakyat masing-masing.
Untuk itulah, WikiLeaks, lewat berbagai cara, mencuri seperempat juta kawat (diplomatic cables) kedutaan-kedutaan AS di seluruh dunia. Tentu AS geram dengan ulah Assange, tetapi tak bisa berbuat apa pun kecuali mempermalukannya dengan tuduhan pelecehan seksual di pengadilan.
Kawat diplomatik ditulis para diplomat berdasarkan konversasi ataupun pengamatan di negara penempatan. Sulit meragukan kredibilitas isi kawat karena —seperti berita yang ditulis wartawan atau hasil riset peneliti— dicek silang, dirapatkan, diperiksa atasan, dan diverifikasi sebagai dokumen negara.
Terlebih lagi AS sudah lebih dari seabad menjalankan sistem diplomasi modern ini. Waktu kawat mereka dibocorkan WikiLeaks, tak ada yang panik karena tak ada rahasia keamanan nasional AS yang terancam.
Beda dengan, misalnya, tatkala Daniel Ellsberg membocorkan pengeboman sadis AS di Indo-China lewat ”Pentagon Papers”. Betapapun, Washington terpukul karena WikiLeaks mengungkapkan bahasa diplomatik yang cenderung kasar menjuluki pemimpin seperti Moammar Khadafy atau Nicolas Sarkozy.
Pada akhirnya, semua kawat toh wajib diungkap kepada publik secara berkala dan bermanfaat untuk riset ilmiah atau jurnalisme investigatif. Tak sedikit ilmuwan kita dan Barat memanfaatkan kawat-kawat untuk riset tentang Indonesia saat pancaroba dari Orde Lama ke Orde Baru.
Tak ada yang bisa disalahkan dalam hiruk-pikuk WikiLeaks karena nasi sudah menjadi bubur. Terlebih lagi baru sekitar 1 persen kawat yang dipajang di etalase. Masih ada lebih dari 200.000 kawat.
Pemerintah AS tak terganggu karena substansi kawat diplomatik mereka justru memperlihatkan kinerja diplomasi yang profesional. Dan, sejauh ini tak satu pun negara sahabat AS yang merasa terusik.
Kini di AS berlaku slogan baru, ”It’s the Internet Galaxy, stupid!”
tolong nnti di komen yaaah... :O
BalasHapus